Jumat, 26 Desember 2008

Kisah Pilu Syaiful, TKI Ilegal Asal Gowa

Tak Digaji, Sering Disiksa hingga Pingsan

BERNIAT mengubah hidup menjadi lebih baik, yang diperoleh justru ternyata penyiksaan. Nasib itulah menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Gowa, Syaiful. Berbekal kepercayaan, dia bersama tiga rekannya meninggalkan Dusun Bontobaddo, Desa Kale Barembeng, Kecamatan Bontonompo, untuk bekerja di Argentina. Tapi, rupanya dollar yang diburu berubah jadi petaka.

Oleh : Mimi Rosmini
Gowa


Berbekal kepercayaan promosi peluang kerja yang diungkapkan pegawai Dinas Perhubungan Makassar, Firman, Syaiful nekat bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) milik negara asing. Padahal, nama perusahaan dan proses administrasi yang menjadi legalitas dalam proses rekrutmen, tidak dijelaskan. Proses perkenalan Firman dan Syaiful tanpa disengaja, melalui
perantaraan teman. Sayangnya, teman yang memperkenalkan Syaiful ke Firman pun hanya dikenal begitu saja. "Ketemu di jalan," singkat Syaiful.

Akhirnya, Syaiful beserta tiga temannya, yang sama-sama berasal dari Kabupaten Gowa dan Jeneponto; Sumarlin, Ahmad, dan Nusalim, mengikuti kata Firman. Setiap orang menyetor uang Rp12 juta, sebagai biaya administrasi untuk diterima menjadi ABK di perusahaan kapal ikan asing.

Setelah menyetor uang pertengahan Februari 2008 lalu, Syaiful dan ketiga temannya diberangkatkan oleh Firman ke Jakarta. “Pada 16 Februari 2008 saya dipanggil Firman, katanya mau berlayar ke luar negeri. Itu saja, tidak ada proses tanda tangan. Kami tahunya cuma berangkat saja,” lugas Syaiful di kediamannya, Senin 11 Agustus.

Pada 17 Februari, Syaiful dan temannya menginjakkan kaki di Jakarta tanpa ditemani Firman. Tiba di bandara Cengkareng, menurut pengakuan Syaiful, ia dijemput seorang laki-laki bernama Idrus. Kepada Syaiful dkk, Idrus memperkenalkan diri
sebagai pimpinan dari Firman.

Dari pertemuan singkat tersebut, Idrus mengiming-imingkan Syaiful serta rekannya gaji Rp1,5 juta per bulan, plus bonus dan tunjangan. Menurut Firman, Syaiful dan ketiga rekannya pun akan bekerja di sebuah kapal ikan. Di Jakarta, Syaiful dkk menginap di salah satu rumah kerabat Idrus di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

“Tepatnya di mana, saya tidak tahu. Selama dua hari, saya dan ketiga teman kemudian diperkenalkan lagi dengan seseorang bernama Hasbar. Menurut Idrus, Pak Hasbar adalah pimpinannya, ia yang kemudian mengurus segala macam keperluan kerja kami, termasuk mengurus paspor dan visa,” katanya.

Perjalanan suram Syaiful dkk pun dimulai. Tepat pada 20 Februari dari Jakarta, Hasbar kemudian melepas Syaiful dkk menuju Dorban, Singapura. Bersama rekannya, Syaiful hanya diberi bekal paspor dan visa serta beberapa surat-surat dan tiket.

Baik Firman, Idrus, maupun Hasbar, tidak ada yang menemani. Mereka melepas begitu saja. Syaiful berangkat hanya berempat, sama seperti ketika dari Makassar ke Jakarta. Di Singapura, ia dijemput seorang pria yang tidak diketahui identitasnya. “Kami hanya disuruh menunggu di Dorban dan diinapkan di hotel,” cerita Syaiful.

Menurut laki-laki dengan ciri-ciri mata sipit, kulit putih, dan rambut lurus tersebut, Syaiful dkk kemudian diperintahkan menunggu satu minggu untuk bisa memulai kerjanya sebagai ABK. Sebab kapal yang akan ditempati bekerja sedang dalam perbaikan karena satu mesinnya rusak.
“Selama satu minggu kami tidak ada kegiatan. Di situ masih terasa enak, makan dan tidur di hotel,” ucap Syaiful.

Dari laki-laki yang tidak ia ketahui identitasnya tersebut, Syaiful mendapat informasi bahwa mereka akan bekerja pada sebuah kapal ikan yang beroperasi di perairan Argentina.
Tepat satu minggu, sebuah kapal bernama Tju Yuing berbendera Taiwan, dengan empat orang penumpang di atasnya, masing-masing kapten kapal, mandor, wakil mandor, dan satu lagi staf datang mengambil Syaiful dkk di Dorban. Mereka pun kemudian berangkat ke Argentina.

Tiba di Argentina, Syaiful dkk mulai diarahkan bekerja. Tugas utamanya adalah memisahkan cumi-cumi berdasar ukuran dan bobot beratnya, hasil tangkapan robot penangkap ikan. “Kita bekerja memisahkan cumi-cumi yang besar dengan kecil, dari hasil tangkapan mesin robot. Dalam satu jam, hasil tangkapan robot itu bisa memenuhi satu kamar ukuran kira-kira 2x3 meter persegi.

Kalau diperkirakan dengan container, mungkin ada tiga container,” ungkap Syaiful.
Pekerjaan yang dilakoni selama empat bulan itu diakui tanpa gaji apalagi bonus. Menurut Syaiful, ia diharuskan bekerja selama dua hari dua malam baru bisa tidur selama dua jam. Jadi selama empat bulan, total tidurnya hanya 48 jam. Tidak bisa menguap, apalagi bercerita.
“Selama 48 jam bekerja atau dua hari dua malam, kami harus terus menerus memisahkan cumi-cumi yang besar dan kecil di dalam mesin pendingin, dengan suhu yang sangat dingin. Lalu hasil pisahan cumi-cumi harus dimasukkan lagi ke sebuah kotak tempat penyimpanan yang penuh dengan es, sangat dingin,” paparnya.

Apa yang diungkapkan Syaiful terbukti dari kondisi kukunya, yang kini masih menghitam. Hampir semua kuku di jari tangan dan kakinya tak ada lagi yang normal.
“Ini kuku begini, karena setiap hari dimasukkan ke dalam kotak pendingin yang dinginnya minta ampun. Tidak pakai pelapis sama sekali, tidak bisa juga kita mengeluh. Kalau tidak, kita dipukul
atau ditendang hingga berdarah-darah,” ucapnya.

Dalam masa kerja, mereka tidak diperbolehkan istirahat sekalipun semenit. Bila ketahuan menguap, juga siap-siap dipukuli atau ditendang oleh mandor. Apalagi, bicara saat bekerja. Alat pemukulnya pun bukan menggunakan tangan, tapi besi.

Syaifiul mengaku, pernah mengalami luka bocor pada kepalanya, akibat hantaman kotak penyimpanan cumi-cumi yang terbuat dari besi dan tembaga. Hal itu ia dapatkan hanya karena kelihatan menguap.

“Saya tidak ingat nama mandornya, kalau yang wakil mandor sering dipanggil Ca Ca Hua. Mereka selalu bicara pakai bahasa Inggris atau Tiongkok. Menurut mereka, menguap atau bercerita bisa mengganggu pekerjaan dan membuang waktu,” ungkapnya.

Ironisnya, dengan kepala bocor tersebut, Syaiful tetap harus bekerja. Tidak ada istilah jeda untuk pengobatan atau perawatan medis. “Suatu hari saya menguap, saya langsung dipukul sampai kepalaku bocor dan dari telingaku keluar darah. Karena tidak kuat, saya pingsan, lalu dipaksa bangun dengan diinjak-injak. Saat sudah sadar, kudapati mataku penuh dengan cabe dan bau balsem. Tapi tidak bisa diusap, karena dipukuliki lagi. Begitu sadar, maka harus kembali kerja,” ujarnya.(*)

Tidak ada komentar: